"Eh, mau bareng, gak ? Lo ke arah kiri, kan ?", tanyanya seraya membuka kaca helm.
"Hm ? Gue gak ngerepotin ?", aku yang bingung malah balik bertanya.
"Enggak. Udah, ayo naik. Tapi gue anter sampe pecahan jalan aja, ya. Rumah gue ke arah Pasar Minggu soalnya", jawabnya menyenangkan. Aku pun mengangguk dan langsung naik ke motornya.
Aneh sekali. Aku tahu kita seangkatan, tapi aku tidak tahu dia sama sekali. Seolah bisa membaca pikiranku, dia pun memperkenalkan dirinya.
"Gue Ali, anak kelas sebelah. Lo Nindi, kan ? Gue tau lo, kok. Suka ngeliat lo juga kalo dijalan. Makanya tadi lo gue ajak bareng.". Oh, jadi namanya Ali. Baru tahu.
Selama di perjalanan, kami berbicara banyak hal. Apa saja kami bahas. Dan sampailah kami di pecahan jalan yang telah Ali katakan sebelumnya. Aku pun lekas turun karena melihat angkutan umum yang biasa kunaiki mulai mendekat.
"Makasih ya, udah mau nganter sampe sini. Hati-hati !", seruku sambil melambaikan tangan kepadanya. Ia pun membalasnya dengan senyuman dan langsung menggas kembali motornya.
Dan sepanjang malam setelah itu, aku tidak berhenti memikirkannya.
**********
Tiga bulan setelah kejadian itu, tepatnya saat libur kenaikan kelas usai, aku menempati kelas baruku. Tak disangka, Ali menempati kelas yang sama denganku. Dan karena itu, kami pun menjadi semakin akrab.
Suatu sore saat acara sekolah, aku datang sedikit terlambat karena jalanan macet. Selama aku belum tiba di sekolah, Ali terus berkomunikasi denganku melalui SMS. Sesampainya di sekolah, Ali mengirimkan pesan yang isinya dia melihatku. Aku pun mencari-cari sosoknya diantara puluhan orang-orang yang sedang terduduk di lapangan.
"Arah jam sepuluh, Nin.", begitu isi pesannya setelah itu. Dan benar saja, aku melihatnya sedang bersenda gurau dengan temannya. Singkat kata, sepanjang acara sekolah berlangsung, sepanjang itu pula kami berkomunikasi, namun secara tak langsung.
Acara pun akhirnya selesai. Aku yang kala itu sedang berbincang dengan temanku, di hampiri oleh Ali.
"Nindi, pulang sama siapa ?", tanyanya halus. Otomatis, jantungku berdegup di atas normal.
"Aku dijemput papa. Kamu sama siapa ?"
"Oh, aku sama Rudi. Kamu hati-hati ya nanti dijalan. Salam buat papa. Daaa..", katanya kemudian berlalu.
**********
Sudah tak terhitung waktu rasanya, hubungan kami semakin lama semakin menarik. Dan semakin lama, aku semakin menaruh harap padanya. Namun suatu ketika, dikelas Bahasa Indonesia, ada seorang teman yang tak sengaja menyeletukkinya.
"Eh, Li, sst ! Itu, si Fina.", kata seorang teman sambil menunjuk ke arah seorang perempuan yang melintasi kelasku. Secara spontan, Ali pun menengok keluar sambil senyum-senyum sendiri. Tanpa sepengetahuannya, aku memperhatikan dan mencerna setiap kejadian yang baru saja terpandang di mataku. Dan tanpa sepengetahuannya pula, hatiku seakan menjerit.
Sejak menikmati peristiwa tersebut, aku mulai berpikir sedikit irrasional. Terjadi ketidaksinkronan antara hati dan pikiranku. Hatiku berkata bahwa hal tadi hanyalah iseng atau candaan biasa. Namun otakku bilang, terang saja hal itu bukan main-main. Tapi, aku merasa sakit setiap hal serupa terjadi begitu saja di hadapanku.
Semakin sering terjadinya peristiwa tersebut, semakin renggang juga hubungan kami. Harap demi harap yang aku tanami kini mungkin telah rusak sehingga tak bisa kusemai. Tapi aku, yang sudah begitu lama dan lelah menunggu, membiarkan saja hal ini terjadi. Walaupun kadang, aku seperti kehilangan sosoknya yang suka menghibur dan menemani. Tapi, daripada aku membodohi dan terbodohi karena menunggu sendiri, lebih baik aku lepas saja semuanya. Namun, meski tak pernah memiliki, merelakannya tetap saja menyakitkan hati.
(Kalimat terakhir dikutip dari Soundcloud Dara Prayoga)